Rahmad Nuryadi
(Praktisi Pentjak Mataraman Gaya Tedjokusuman)
Beberapa tahun belakangan ini kita melihat dimedia mulai dari aktivis sosial hingga politikus Indonesia gencar menggemakan jargon “Kesetaraan Gender”. Semakin hari perempuan semakin sadar akan kesetaraan gender dan menuntut hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan kerap kali dianggap berperan hanya dalam ruang lingkup rumah, bagaimana mengurus rumah dan anak. Gender merupakan konstruksi sosial maupun kultural yang dilekatkan oleh masyarakat semisal laki-laki tegas dan tidak cengeng sedangkan perempuan lebih lembut dan sabar sehingga perbedaan ini menghasilkan pembagian kelas kerja maupun minat bakat dalam lingkungan sosial.
Dalam ruang lingkup olahraga pun isu-isu gender cukup berkembang, dalam hal ini olahraga pencak silat di Perguruan Perpi Harimurti Mataram, sebagai perguruan yang dianggap asli dari Jawa keraton Yogyakarta Hadiningrat beberapa orang menganggap bahwa perempuan jawa belajar pencak silat sangat kurang elok terlebih seorang perempuan Jawa berlatih memegang tombak, keris, maupun pedang, dan lain-lain. Beberapa perguruan aliran Mataram memang membatasi jumlah anggotanya yaitu hanya laki-laki yang boleh belajar pencak karena laki-laki kelak merupakan seorang pemimpin. Sehingga kerap kali Perguruan Perpi Harimurti pun dianggap hanya menerima siswa laki-laki dan khusus orang Jawa.
Perpi Harimurti sendiri menerima murid laki-laki maupun perempuan, latar belakang agama, suku apapun itu semua diterima dan diberi ajaran pencak yang sama. Pandangan terhadap perempuan khususnya terhadap perempuan Jawa ini disebabkan oleh para orientalis, para cendikiawan dan penulis barat kerap kali menuliskan suku Jawa sebagai orang yang lemah lembut. Pandangan barat inipun kemudian membelenggu pandangan orang Jawa sendiri terhadap perempuan. Padahal perempuan Jawa memiliki andil besar dalam sejarah budaya beladiri kuno dan berperan dalam perlawanan perang.
Dalam Nationalgeographic pada 1809 di Yogyakarta, seorang veteran perang Napoleon Herman Willem terkejut menyaksikan pertunjukan turnamen perang-perangan yang dilakukan oleh 40 perempuan yang ia anggap kemampuan itu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa dituliskan bahwa keraton Mataram memiliki perempuan yang sangat banyak sebagai penjaga istana. Bahkan di dalam buku tersebut dikisahkan peran perempuan Jawa Nyi Ageng Serang diminta menghadapi perang oleh Pangeran Diponegoro, belum lagi mengenai catatan-catatan di sisi Jawa lainnya mengenai Prajurit Estri, yang sempat merepotkan para lelaki hingga membuat mengeluh karena istri-istri mereka juga direkrut sebagai prajurit Estri.
Maka oleh sebab itu Perguruan Silat Harimurti Mataram memandang setiap wanita pun berhak mendapatkan pembelajaran untuk membela diri, membela kehormatannya, dan orang-orang yang dicintainya sebagaimana sejarah keperkasaan perempuan-perempuan Jawa dengan tetap menjaga kesopanan dalam berkehidupan sosial atas ajaran moral orang Jawa.